Advertisment
Ilustrasi (foto quora) |
Oleh : Candrika Adhiyasa
Saya sering melihat pesawahan sebagaimana lahan yang relatif luas untuk bercocok tanam bagi para penggarap pertanian guna untuk menghidupi hajat hidup orang banyak dalam mengarungi dan menjalani kehidupan tersebut kini mulai terdegradasi oleh zaman.
Bila melihat persawahan yang lanskap dan becek serta berlumpur itu, mungkin kita kita sering melihat para petani yang sedang bercinta dengan alam ataupun bumi dan tanpa tersirat atau terpikirkan sedikitpun oleh kita sebagaimana mereka para petani adalah pahlawan tanpa gelar.
Kenapa kita harus bisa berpikir demikian. Karena tanpa mereka tak mungkin kebudayaan ini terus bergerak. Dan tak mungkin manusia mampu mempertahankan nyawa.
Namun yang perlu kita sikapi adalah munculnya ironis dalam roda kehidupan bagi anak-anak para petani yang ruang ekonominya begitu terbatas. Kenapa demikian karena di jaman sekarang, manusia begitu mudahnya tersihir budaya konsumerisme. Sehingga ada semacam kontras antara kondisi ekonomi petani dan hasrat beli dari anak-anak mereka.
Dalam perspektif tertentu, tentu dapat dibenarkan sikap anak-anak para petani itu. Bahwa gaya hidup merupakan bagian integral dari hidup. Yang dari sana termungkinkan munculnya ragam kesenangan (pleasure), padahal yang sebenarnya hanyalah merupakan skema pasar kapitalistik.
Bisa kita andaikan, harga kendaraan yang gila, gawai yang fantastis, dan outfit yang serba fashionable, itu semua sesuatu yang hanyalah merupakan kebutuhan sekunder dan tersier semata. Sementara orang tua mereka mengumpulkan recehan hasil kekecewaannya pada kebijakan para tengkulak yang galak itu, sekadar untuk membeli beras (meski mereka menanam padi).
Sirkuit sosial-ekonomi semacam ini dipengaruhi betul oleh arus informasi yang didorong secara agresif oleh para pedagang plat merah yang sekaligus memegang kendali sendi-sendi pemerintahan.
Hal ini bukan semacam tudingan, atau bahkan dakwaan, melainkan suatu penilaian emosional atas nilai-nilai yang tercerabut oleh moncong ganas mentalitas korban konsumerisme.
Ketika saya melihat pesawahan, saya bisa merenungkan fenomena ironis ini sambil meneguk kopi seharga tiga kilogram beras, yang dicari begitu rupa oleh para petani "miskin" yang mungkin terlihat saling sikut menyikut dalam sebuah program pembagian bantuan.***