Advertisment
Ilustrasi |
Oleh : Candrika Adhiyasa
Banyak orang, barangkali, menganggap dirinya adalah orang yang paling memahami konsep keadilan. Hal ini semacam bawaan alami, bahwa ia kemudian berkecenderungan untuk menuding orang lain sebagai pihak yang tidak mengindahkan keadilan (dalam versinya, tentu saja). Namun hal ini menjadi pelik ketika subjek yang menentukan kriteria keadilan adalah sosok laki-laki semata. Dalam konteks ini, masyarakat terjerembab dalam embus-napas patriarki.
Seperti tercermin dalam "The Fall", sebuah monolog yang ditulis Albert Camus pada tahun 1956, empat tahun sebelum kematiannya karena kecelakaan lalu lintas, dan sekaligus merupakan karya fiksi terakhirnya. Sang tokoh “aku”, Jean-Baptiste Clemence, adalah sosok yang barangkali merepresentasikan bawaan alami banyak orang tersebut: yang menganggap atau bahkan membangga-banggakan dirinya sebagai “seorang pembela hukum yang baik dan ramah”.
Ada sikap merasa unggul di sini, tetapi dalam megalomania semacam itu, Clemence pada akhirnya bersentuhan dengan absurditas. Ia merasa hidup begini rupa, monoton, dan sukar dipahami. Ia merasa bahagia sekaligus hampa, mencintai sekaligus membenci. Pada akhirnya, ia merupakan manusia yang tidak berbeda dengan manusia lain meski memiliki perasaan lebih unggul dalam memahami “hakikat hidup”. Bukankah setiap orang memiliki kecenderungan serupa?
Pokok pembicaraan si tokoh utama seolah-olah merupakan representasi skema berpikir lelaki dominan, seperti yang sudah disinggung, di masa itu tetapi barangkali hingga masa kini yang menganggap bahwa perempuan sekadar masyarakat kelas dua, atau lebih sadis, sekadar alat.
Clemence berkata, atau menuding, “Apa yang mereka lakukan?
Para lelakinya menggantungkan hidupnya dengan hasil kerja para perempuannya.” Tak dapat dielakkan, di suatu negeri, masyarakat semacam ini, yang dituding oleh Clemence, eksis. Lantas ia juga berkata dalam halaman yang lain bahwa, “Menindas sudah seperti bernapas.” Seolah-olah, manusia sebagai hakim, hadir untuk mensubordinasikan pihak lain, dan menindasnya demi “kelangsungan hidup”. Namun monolog ini, seperti dikatakan Jean-Paul Sartre, sahabat Albert Camus yang kemudian bertengkar karena perbedaan pandangan itu, adalah, “Buku terindah dari seorang Albert Camus, dan mungkin juga novelnya yang paling sulit untuk dimengerti".***