Redaksi
Senin, 9/04/2023 07:07:00 PM WIB
EkbisHeadline

Tundagan Basis Gerilya Perjuangan

Advertisment
Prasasti yang berlokasi di depan bale desa,  ciri bukti desa Tundagan merupakan basis gerilya perjuangan. Foto (Andy G)

KUNINGAN, (BK).-


Sejak awal perang kemerdekaan yang disebut Agresi Ke I yaitu sekitar tahun 1946, khususnya desa Tundagan,umumnya Kec. Ciniru dan Hantara menjadi basis ( kantong ) perjuangan bagi TNI, untuk mengusir penjajah guna mempertahankan kemerdekaan negara Republik Indonesia.

Ketika itu rakyat dengan senang hati menerima para pejuang bangsa, dengan sukarela mereka menyediakan rumahnya untuk dijadikan markas gerilya perjuangan, serta memberi makan dan minum dengan rasa tulus ikhlas serta kaum pemuda pun ikut berjuang membantu TNI bergerilya.

TNI yang bertugas di Kecamatan Ciniru yaitu Batalyon Rukman dengan Komandan Batalyonnya Mayor Rukman.

Dengan adanya instruksi bahwa pasukan Siliwangi harus hijrah ke Yogyakarta, maka para pejuang yang berkedudukan di desa Tundagan, Bunigeulis dan desa-desa lainnya sewilayah Kecamatan Hantara dan Kecamatan Ciniru berangkat hijrah sesuai dengan perintah. Masyarakat merasa kehilangan ditinggal pergi oleh para pendekar bangsa, disertai dengan iringan doa, kepada Tuhan Yang Maha Esa masyarakat berharap agar putra-putra bangsa selamat sampai tujuan.

Sekitar tahun 1947/1948 Pasukan Siliwangi kembali dari hijrah, serta kembali menduduki kantong-kantong gerilya perjuangan.

Kecamatan Ciniru dan Hantara tetap dijadikan pusat pertahanan termasuk desa Tundagan dan Bunigeulis . Tentara kolonial Belanda yang berkedudukan di Kuningan kota, mengetahui bahwa desa Tundagan dijadikan basis perjuangan TNI. Pada suatu hari dengan kekuatan satu kompi baret hijau yang kebanyakan suku Ambon tentara Belanda bergerak dengan route Kuningan-Kadugede-Sindangjawa-Kampung Kaliwon (sekarang desa Margabakti) menuju titik sasaran yaitu desa Tundagan dan Bunigeulis wilayah kecamatan Hantara.

Kurang lebih pukul 6.30 WIB Belanda telah tiba di Tundagan, sedangkan TNI tidak mengira hari itu akan ada serangan mendadak, dari pihak musuh.

Kontak senjata tidak bisa dihindarkan, walaupun TNI dalam keadaan terjepit mereka dibantu sejumlah warga masyarakat termasuk pemuda memberikan perlawanan dengan gigih.

Dalam tragedi tersebut, beberapa putra Siliwangi dan sejumlah warga desa setempat banyak gugur sebagai kusumah bangsa, diantaranya prajurit Saleh, Ali, Enem, Emon, dan seorang pemuda desa Bunigeulis bernama Hadi.

Meskipun mendapat tekanan berat dari pihak Belanda, namun putra-putra Siliwangi tidak mengenal menyerah, malahan deru perjuangan semakin bergelora di dada para pejuang bangsa.

Suatu hari ada informasi bahwa akan ada patroli Belanda, rute Kuningan-Ciniru-Hantara dengan titik sasaran desa Tundagan dan desa Bunigeulis. TNI bersama warga siap siaga menghadang musuh, mengambil posisi di sebuah bukit perbatasan antara desa Tundagan dan Hantara yaitu tepatnya di bukit Haurgeulis dan perbatasan (heuleut Sunda red) Hantara.

Penyergapan tersebut dipimpin langsung oleh Komandan Kompi yaitu Letnan I (Lettu) Bahroji dan Danton Letnan II (Letda) Ading Suparman. Terjadilah pertempuran sengit antara tentara Belanda dengan TNI di bukit Haurgeulis wilayah kecamatan Hantara.

Beberapa timah panas menembus dada tentara Belanda sehingga banyak yang tewas seketika belum yang luka parah.

Atas rido Allah SWT, TNI yang dibantu warga semuanya selamat,terkenal dengan sebutan pertempuran puncak Haurgeulis. Belanda membabi buta, rumah-rumah rakyat dibumi hanguskan, rakyat ( warga ) yang tak berdosa banyak ditembak dan disiksa oleh tentara Belanda.

Pada jaman merajalelanya gerombolan DI/TII dipimpin SM Karto Suwiryo rakyat setempat menderita lahir batin, semalam suntuk mereka tidak bisa tidur nyenyak karena jiwanya terancam. Desa Tundagan dan desa-desa lainnya di kecamatan Hantara khususnya, dan umumnya di Kecamatan Ciniru Kuningan tidak luput dari keserakahan gerombolan DI/TII dibawah pimpinan SM Karto Suwiryo. Rumah-rumah dibakar, rakyat dibunuh secara keji harta benda rakyat dirampas secara paksa. Untuk membendung keganasan dari gerombolan pimpinan SM Karto Suwiryo, di tiap desa ditempatkan pos AG dari Batalyon 309 yang disebut juga Batalyon 11 April, dengan Komandan Batalyonnya waktu itu Mayor Sayidiman. Setelah diadakan pos AG di seluruh desa, keamanan jiwa penduduk bisa dilindungi sehingga ruang gerak gerombolan Karto Suwiryo semakin sempit, bahkan TNI bersama rakyat setempat melaksanakan pagar betis untuk memburu persembunyian sang pengacau. Dengan bersatunya TNI bersama rakyat setempat yang melaksanakan pagar betis kala itu, maka akhirnya semua anak buah Karto Suwiryo bertekuk lutut.

Kini NKRI telah merdeka berusia 78 tahun warga merasa hidup tentram tenang dan damai. Dinamika kehidupan di alam kemerdekaan kita rasakan. Semoga NKRI berdiri kokoh menjadi negara maju sejahtera lahir dan batin. (Andy SAG)

(Dari Berbagai Sumber)