Advertisment
Oleh : Adia Prima Nugraha
Mahasiswa Universitas Kuningan Prodi PGSD
Malam itu, hujan turun dengan deras. Langit malam tampak kelabu, seolah menumpahkan segala kerisauan yang terpendam. Alex duduk di sebuah kafe kecil, memandangi tetesan air yang mengalir di jendela. Hatinya bergejolak, dipenuhi pertanyaan yang tak kunjung terjawab. Ia menunggu seseorang yang menitipkan laptop padanya, seseorang yang begitu penting dalam hidupnya, namun selalu pergi tanpa memberi kepastian seperti bayang-bayang yang lenyap saat sinar matahari terbit.
Kafe itu sunyi, hanya suara hujan yang mengguyur atap dan aroma kopi yang mengepul di udara. Tak lama, pintu kafe berderit terbuka. Seorang perempuan masuk, basah kuyup. Dengan senyum lemah, ia menatap Alex. Itu adalah Umah, sosok yang selama ini menjadi teka-teki baginya. Tanpa berkata sepatah kata pun, ia duduk di hadapan Alex, menyodorkan laptop dengan tatapan penuh penyesalan.
“Aku harus pergi lagi, Lex,” ucap Umah pelan, suaranya teredam oleh gemuruh hujan di luar.
“Pergi? Kenapa selalu seperti ini, Umah? Kenapa tidak bisa kita ngobrol sebentar sambil minum kopi? Kamu selalu membuatku berharap,” jawab Alex, suara tertahannya mencerminkan kepedihan yang mendalam.
Umah terdiam sejenak, menarik napas panjang. “Kadang, kita harus menjadi bayang-bayang, Lex. Tidak semua hal bisa kita miliki. Tidak semua cerita harus kita genggam sampai akhir.”
Alex menunduk, matanya meredup. Kata-kata Umah seakan menyayat hatinya. Ia tahu betul bahwa perasaannya kepada Umah bukan sekadar angin lalu. Namun, setiap kali mereka bertemu, selalu ada kepergian yang menyakitkan.
“Kalau kamu pergi, aku tidak tahu kapan bisa bertemu lagi,” ungkap Alex, suara bergetar.
“Ini bukan perpisahan selamanya,” Umah mencoba menenangkan, namun hatinya sendiri tak yakin. “Kita hanya perlu waktu.”
Dengan berat hati, Umah bangkit. Melangkah menuju pintu dengan langkah yang pelan, ia meninggalkan Alex dalam kebisuan yang menyakitkan. Alex menyaksikan sosok Umah yang pergi, menghilang ke dalam gelap malam, seperti bayang-bayang yang tak pernah bisa ditangkap. Jejak langkahnya menghilang, menyisakan keheningan dan sebuah laptop yang kini terasa begitu berat.
Hujan terus turun, menambah kesedihan yang melanda hatinya. Seolah langit pun merasakan perasaannya, menumpahkan air mata yang tiada henti. Alex meraih cangkir kopinya yang kini sudah dingin. Ia menyandarkan kepala di tangan, membiarkan semua rasa sakit itu menghujam dalam-dalam.
Sejak saat itu, Alex menyadari bahwa terkadang, hidup memang seperti bayang-bayang—tak terduga, sulit dipahami, dan tak bisa digenggam. Satu hal yang ia yakini: meski bayang-bayang Umah kini menghilang, kenangannya akan selalu terukir di hati, selamanya menjadi bagian dari kisah hidupnya. (Apip/ BK)