Advertisment
KUNINGAN, (BK) –
Proyek Jalan Lingkar Timur Selatan (JLTS) yang awalnya diharapkan mampu memperbaiki infrastruktur dan meningkatkan mobilitas di Kabupaten Kuningan, kini justru menjadi sorotan tajam. Alih-alih transparan dan taat hukum, proyek ini diduga tidak didasari perencanaan matang dan berujung pada gagal bayar, menggoyahkan keuangan Pemda Kuningan dan memicu kekhawatiran luas terkait pengelolaan anggaran publik.
Laporan terbaru mengungkapkan bahwa anggaran proyek ini menyentuh angka fantastis Rp90 miliar, dan dengan cepat menyebar ke publik, memicu keresahan atas pengurasan kas daerah secara signifikan.
"Apakah penggunaan anggaran sebesar itu sesuai dengan RPJMD? Atau proyek ini hanya jadi bancakan elit pejabat yang haus keuntungan pribadi?" tanya Erles Herman Tanuwijaya, Presidium Gerakan Alumni HMI (GAHMI), dengan nada tegas pada Jumat (4/10/24)
Erles mengkritik dampak panjang yang mungkin terjadi akibat proyek ini, termasuk pemangkasan anggaran untuk sektor vital seperti pendidikan dan kesehatan. "Pemerintah harus segera memberikan penjelasan. Jangan sampai anggaran publik yang seharusnya untuk rakyat, disedot habis demi proyek yang tak jelas manfaatnya," serunya.
Lebih jauh, tokoh aspirasi pemuda (APDA) Jawa Barat yaitu Yadi, mengungkapkan kekhawatiran terkait proses pembebasan lahan yang terkesan dipaksakan. "Ada indikasi bahwa lahan-lahan ini sudah dibeli oleh orang-orang tertentu sebelum pembebasan, dengan tujuan meraup keuntungan besar. Sementara, tanah milik warga yang sudah lama tinggal di sana, justru belum dibebaskan. Ada apa ini?" ungkapnya berseloroh.
Ia pun meminta aparat penegak hukum untuk segera bertindak. "Kami tidak ingin proyek ini menjadi ajang perampokan uang rakyat. Harus ada kejelasan, transparansi, dan akuntabilitas dalam setiap langkah proyek JLTS. Jangan khianati Pancasila, jangan jadi perampok di negeri sendiri!" tegasnya.
Dengan kondisi ini, proyek yang seharusnya membawa manfaat besar bagi masyarakat Kuningan, kini justru menjadi ujian berat bagi pemerintah daerah. Mereka ditantang untuk menjaga kepercayaan publik dalam mengelola anggaran, tanpa memprioritaskan kepentingan pribadi dan kelompok semata. (Apip/BK)