Advertisment
Oleh: Tiara Az Zahra, Mahasiswi STISHK Kuningan Prodi Hukum Keluarga
KUNINGAN, (BK).-
Dalam interaksi sosial, kepercayaan menjadi aspek fundamental yang membentuk hubungan manusia. Kepercayaan memiliki peran krusial dalam menciptakan hubungan yang sehat dan stabil secara psikologis. Namun, ketika seorang anak perempuan tumbuh dalam kondisi fatherless, atau ketiadaan figur ayah dalam hidupnya, dampaknya terhadap kepercayaan diri dan pola hubungan dapat sangat mempengaruhi kesejahteraan psikologisnya. Fatherless, yang dapat terjadi karena perceraian, pemisahan, atau bahkan kematian, berdampak besar pada perkembangan emosi dan kepercayaan anak perempuan.
Fenomena fatherless sudah bukan rahasia lagi di Indonesia. Negara ini sering disebut sebagai salah satu fatherless country, dengan jumlah kasus yang cukup tinggi. Namun, istilah fatherless di sini tidak selalu berarti anak-anak benar-benar tidak memiliki ayah. Banyak anak yang meskipun secara fisik memiliki ayah, tidak merasakan kehadiran dan peran aktif ayah dalam kehidupan mereka. Hal ini menjadi refleksi penting bagi masyarakat, terutama dalam mempertanyakan kembali peran ayah di tengah dinamika keluarga, khususnya dalam proses tumbuh kembang anak.
Anak perempuan yang kehilangan figur ayah kerap menghadapi tantangan dalam membangun dan mempertahankan kepercayaan interpersonal. Ketidakhadiran ayah sebagai panutan dan sumber dukungan emosional seringkali memicu ketidakadilan emosional yang dirasakan oleh anak. Mereka cenderung merasakan kekosongan emosional, yang dapat berdampak pada kepercayaan diri mereka dan bagaimana mereka memandang hubungan dengan orang lain.
Ketidakberadaan figur ayah ini sering kali berimbas pada trust issue, terutama pada anak perempuan. Beberapa dampak yang bisa terlihat antara lain: pertama, mereka mungkin sulit mempercayai orang lain, terutama dalam hubungan percintaan atau persahabatan. Kedua, ketidakpastian akan kemampuan diri dapat menyebabkan rendahnya harga diri (self-esteem) serta rendahnya kontrol diri (self-control). Ketiga, ketiadaan ayah juga membuat mereka lebih skeptis terhadap niat dan motivasi orang lain, sehingga membutuhkan waktu lebih lama untuk membangun kepercayaan.
Di Indonesia, budaya patriarki masih mengakar kuat, yang membuat peran ayah dalam pengasuhan sering kali diabaikan. Keterlibatan ayah masih dianggap tabu oleh sebagian besar masyarakat. Penempatan posisi ayah di ruang publik dan ibu di ranah domestik tidak hanya memperlemah posisi keduanya, tetapi juga merugikan anak dalam memperoleh pengalaman pengasuhan yang seimbang. Padahal, ayah dan ibu memiliki peran penting yang saling melengkapi. Ibu mengajarkan empati, kasih sayang, dan pendewasaan emosi, sedangkan ayah mengajarkan logika, keberanian, dan kemandirian. Kombinasi peran maskulin dan feminin ini akan membentuk anak menjadi pribadi yang lebih utuh dan stabil secara emosional.
Fenomena fatherless sudah bukan rahasia lagi di Indonesia. Negara ini sering disebut sebagai salah satu fatherless country, dengan jumlah kasus yang cukup tinggi. Namun, istilah fatherless di sini tidak selalu berarti anak-anak benar-benar tidak memiliki ayah. Banyak anak yang meskipun secara fisik memiliki ayah, tidak merasakan kehadiran dan peran aktif ayah dalam kehidupan mereka. Hal ini menjadi refleksi penting bagi masyarakat, terutama dalam mempertanyakan kembali peran ayah di tengah dinamika keluarga, khususnya dalam proses tumbuh kembang anak.
Anak perempuan yang kehilangan figur ayah kerap menghadapi tantangan dalam membangun dan mempertahankan kepercayaan interpersonal. Ketidakhadiran ayah sebagai panutan dan sumber dukungan emosional seringkali memicu ketidakadilan emosional yang dirasakan oleh anak. Mereka cenderung merasakan kekosongan emosional, yang dapat berdampak pada kepercayaan diri mereka dan bagaimana mereka memandang hubungan dengan orang lain.
Ketidakberadaan figur ayah ini sering kali berimbas pada trust issue, terutama pada anak perempuan. Beberapa dampak yang bisa terlihat antara lain: pertama, mereka mungkin sulit mempercayai orang lain, terutama dalam hubungan percintaan atau persahabatan. Kedua, ketidakpastian akan kemampuan diri dapat menyebabkan rendahnya harga diri (self-esteem) serta rendahnya kontrol diri (self-control). Ketiga, ketiadaan ayah juga membuat mereka lebih skeptis terhadap niat dan motivasi orang lain, sehingga membutuhkan waktu lebih lama untuk membangun kepercayaan.
Di Indonesia, budaya patriarki masih mengakar kuat, yang membuat peran ayah dalam pengasuhan sering kali diabaikan. Keterlibatan ayah masih dianggap tabu oleh sebagian besar masyarakat. Penempatan posisi ayah di ruang publik dan ibu di ranah domestik tidak hanya memperlemah posisi keduanya, tetapi juga merugikan anak dalam memperoleh pengalaman pengasuhan yang seimbang. Padahal, ayah dan ibu memiliki peran penting yang saling melengkapi. Ibu mengajarkan empati, kasih sayang, dan pendewasaan emosi, sedangkan ayah mengajarkan logika, keberanian, dan kemandirian. Kombinasi peran maskulin dan feminin ini akan membentuk anak menjadi pribadi yang lebih utuh dan stabil secara emosional.
Islam sendiri menekankan pentingnya peran ayah dalam pengasuhan. Syaikh Wahbah Az-Zuhayli dalam tafsirnya menjelaskan bahwa penanaman nilai tauhid oleh orang tua, khususnya ayah, adalah fondasi utama yang harus diberikan kepada anak sebelum mempelajari ilmu lainnya. Dengan tauhid yang kokoh, seorang anak akan memahami asal usulnya, tanggung jawabnya sebagai hamba, dan bagaimana ia harus berperilaku. Al-Qur'an memberikan contoh teladan melalui nasihat Luqman yang menekankan pentingnya adab dan budi pekerti kepada orang tua.
Kesimpulannya, ketiadaan figur ayah dalam pengasuhan sangat berpotensi mempengaruhi perkembangan psikologis anak perempuan. Ayah bukan hanya sekadar pemberi nafkah, tetapi juga berperan sebagai sumber dukungan emosional dan penuntun dalam hidup anak. Kehadiran ayah yang aktif dan penuh perhatian dalam pengasuhan dapat membantu anak membentuk karakter yang kuat, percaya diri, dan memiliki pola kepercayaan yang sehat dalam hubungan interpersonal.
Semoga Allah menjaga kita semua dalam ketaatan dan menjadikan kita sebagai orang tua yang amanah dalam mendidik anak-anak kita. Allahumma
barik. (Apip/ BK)